6 Fakta Menyakitkan Masjid Ibrahimi: Rumah Para Nabi yang Kini Terluka

Daftar isi

Fondasi dinding yang mengelilingi kompleks suci di jantung Kota Hebron (Al-Khalil), Palestina, telah berdiri kokoh selama lebih dari 2.000 tahun. Dibangun oleh Herodes Agung, struktur kuno ini didirikan untuk menghormati dan melindungi sebuah situs yang amat disucikan: tempat peristirahatan terakhir Bapak para Nabi, Ibrahim AS, beserta putra dan cucunya. Selama berabad-abad, bangunan ini bertransformasi dan dikenal oleh jutaan umat Muslim di seluruh dunia sebagai Masjid Ibrahimi. Namun, di balik sejarahnya yang agung dan arsitekturnya yang megah, kini tersimpan sebuah luka yang dalam. Realitasnya pada Oktober 2025 ini, ia bukan lagi sekadar rumah ibadah yang damai, melainkan sebuah simbol nyata dari perpecahan yang menyakitkan.

 

6 Fakta Menyakitkan Masjid Ibrahimi: Rumah Para Nabi yang Kini Terluka

Mengunjungi Masjid Ibrahimi adalah sebuah pengalaman yang menggetarkan jiwa, namun juga menyayat hati. Kamu akan merasakan kedamaian spiritual yang luar biasa saat berada begitu dekat dengan makam para kekasih Allah. Akan tetapi, pada saat yang sama, kamu juga akan menyaksikan langsung sekat-sekat pemisah, kawat berduri, dan pos-pos pemeriksaan militer yang mengubah wajah tempat suci ini. Keindahan arsitektur dari era Mamluk yang tak lekang oleh waktu seolah beradu kontras dengan realitas modern yang penuh ketegangan. Artikel ini akan membawamu menelusuri enam fakta menyakitkan di balik dinding suci ini, sebuah kisah tentang rumah para nabi yang kini terluka parah.

Jejak Sejarah Ribuan Tahun di Al-Khalil

Sebelum memahami kondisinya saat ini, penting bagi kamu untuk mengetahui betapa berlapisnya sejarah tempat ini. Jauh sebelum menjadi masjid, kompleks Gua Makhpela ini sudah menjadi situs suci. Nabi Ibrahim AS sendiri yang membeli gua tersebut untuk dijadikan pemakaman bagi istrinya, Siti Sara. Kemudian, tempat ini pernah menjadi pusat peribadatan Yahudi pada masa kuno. Setelah itu, pada era Bizantium, sebuah gereja dibangun di atasnya. Ketika Islam datang, bangunan tersebut diubah menjadi masjid. Fungsinya sempat kembali menjadi gereja selama Perang Salib, hingga akhirnya Salahuddin Al-Ayyubi membebaskan Yerusalem dan mengembalikan fungsinya sebagai masjid secara permanen, memperindahnya dengan mimbar agung yang kini menjadi salah satu artefak paling berharga.

Masjid Ibrahimi

Berbicara tentang Masjid Ibrahimi hari ini berarti berbicara tentang dua wajah dalam satu bangunan suci. Di satu sisi, ia adalah pusat spiritual yang memancarkan ketenangan. Lantunan ayat suci Al-Quran dan doa-doa peziarah seolah tak pernah putus. Namun di sisi lain, ia adalah zona konflik yang dijaga sangat ketat. Kamu bisa melihat keindahan kaligrafi dan ornamen Islam yang rumit, tetapi pandanganmu juga akan bertemu dengan pintu-pintu baja, kamera pengawas, dan tentara bersenjata lengkap. Dualitas inilah yang membuat suasana di dalam masjid terasa begitu kompleks. Ada rasa damai yang bercampur dengan kesedihan, ada kekhusyukan yang dibayangi oleh kewaspadaan.

 

6 Realita Pahit di Balik Dinding Suci Ini

Kondisi yang terluka ini bukanlah sebuah kiasan, melainkan sebuah kenyataan sehari-hari yang dihadapi oleh para jamaah dan penjaga kesucian masjid. Berikut adalah enam realitas pahit yang terjadi di sana.

1. Pembagian Paksa Pasca-Tragedi 1994

Titik balik yang mengubah segalanya terjadi pada 25 Februari 1994. Seorang pemukim ekstremis Yahudi, Baruch Goldstein, masuk ke dalam ruang shalat utama saat jamaah sedang sujud dalam shalat Subuh, lalu menembaki mereka secara brutal. Akibatnya, 29 orang gugur syahid dan ratusan lainnya luka-luka. Namun, buntut dari tragedi ini justru sangat tidak adil. Bukannya memberikan perlindungan lebih, otoritas Israel justru menutup total masjid selama berbulan-bulan, lalu membukanya kembali dengan pembagian paksa. Sekitar 60% area masjid, termasuk aula utama (Al-Ishaqiyyah), diubah menjadi sinagoge.

2. Akses Ibadah yang Dibatasi Checkpoint Berlapis

Bagi seorang Muslim Palestina yang tinggal di Hebron, untuk mencapai masjid yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja bisa menjadi sebuah perjuangan. Mereka harus melewati serangkaian pos pemeriksaan militer (checkpoint) dan pintu putar elektronik. Proses pemeriksaan identitas dan barang bawaan yang ketat seringkali memakan waktu dan terkadang disertai perlakuan yang kurang menyenangkan. Hal ini secara efektif menghalangi banyak jamaah, terutama lansia dan anak-anak, untuk beribadah secara rutin.

3. Makam Para Nabi yang Tersekat Tembok

Pembagian paksa tersebut juga berarti memisahkan makam keluarga Nabi Ibrahim. Cenotaph (penanda makam) Nabi Ibrahim AS dan istrinya Siti Sara berada di bagian yang dialokasikan untuk Muslim. Akan tetapi, cenotaph putranya, Nabi Ishaq AS, dan istrinya Ribka, kini berada di dalam area sinagoge. Umat Muslim tidak bisa lagi berziarah dengan bebas ke makam Nabi Ishaq, kecuali pada 10 hari tertentu dalam setahun saat pembatas dibuka. Kesatuan “makam keluarga” yang sakral kini telah tercabik-cabik.

4. Larangan Kumandang Adzan yang Rutin Terjadi

Salah satu pilar syiar Islam adalah kumandang adzan. Sayangnya, di Masjid Ibrahimi, adzan seringkali dilarang untuk dikumandangkan melalui pengeras suara. Berdasarkan data Kementerian Wakaf Palestina, larangan ini bisa terjadi puluhan kali setiap bulannya, terutama pada waktu shalat Maghrib, Isya, dan Subuh. Alasan yang diberikan oleh pihak militer Israel adalah suara adzan dianggap mengganggu para pemukim Yahudi yang beribadah di sisi lain bangunan.

5. Penutupan Total Selama Hari Raya Yahudi

Selain pembatasan harian, masjid ini ditutup sepenuhnya bagi umat Islam selama kurang lebih 10 hari dalam setahun. Penutupan ini terjadi selama hari-hari raya besar Yahudi. Selama periode tersebut, seluruh kompleks, termasuk bagian Muslim, diubah menjadi sinagoge eksklusif, sementara jamaah Muslim sama sekali tidak diizinkan masuk ke pelataran sekalipun.

6. Kehadiran Militer di Dalam Ruang Ibadah

Sebuah pemandangan yang sangat janggal dan menyedihkan adalah kehadiran tentara bersenjata lengkap yang berpatroli di dalam dan di sekitar ruang ibadah. Kehadiran militer di tempat yang seharusnya menjadi oase kedamaian dan kekhusyukan ini tentu saja menciptakan atmosfer intimidasi dan ketegangan yang konstan, jauh dari suasana yang seharusnya dirasakan di rumah Allah.

 

Menemukan Kedamaian di Tengah Keterbatasan

Meskipun dihadapkan pada semua kesulitan ini, semangat umat Islam untuk memakmurkan Masjid Ibrahimi tidak pernah padam. Bagi mereka yang berhasil menembus segala rintangan untuk bisa sujud di dalamnya, setiap rakaat shalat terasa sangat berharga. Ini adalah bentuk jihad dan kecintaan mereka dalam menjaga warisan para nabi.

Mengunjungi tempat dengan lapisan sejarah dan realitas politik yang begitu kompleks tentu membutuhkan pemahaman dan persiapan. Perjalanan spiritual ke Hebron bukan sekadar wisata biasa. Inilah mengapa banyak peziarah memilih biro perjalanan yang berpengalaman seperti Al Khair Tour and Travel. Mereka tidak hanya mengatur perjalanan yang aman, tetapi juga memberikan konteks mendalam yang membantu jamaah memahami setiap sudut Masjid Ibrahimi dan menghayati perjuangan serta kesabaran para penjaganya.

Sebagai kesimpulan, Masjid Ibrahimi adalah sebuah paradoks yang agung. Ia adalah tempat bersemayamnya para nabi yang mulia, namun juga menjadi saksi bisu dari ketidakadilan yang terus berlangsung. Kisahnya adalah pelajaran berharga tentang keteguhan iman di tengah penindasan. Semoga suatu saat nanti, luka-luka yang menggores dinding sucinya dapat disembuhkan, dan rumah para nabi ini bisa kembali menjadi tempat yang menyatukan, bukan memisahkan. Hingga saat itu tiba, memahami kisah nyata Masjid Ibrahimi adalah bagian dari tugas kita bersama.

Bagikan

Facebook
LinkedIn
WhatsApp
X
Threads
Email

Artikel Terkait